PEMILIHAN UMUM tinggal sebentar lagi. Persaingan antar partai politik (parpol) kian memuncak. Bidang ekonomi misalnya, persaingan itu telah mengkerucut menjadi tiga kutub: pro ekonomi pasar (market economics), pro ekonomi kerakyatan (peoples’ economic), dan ekonomi campuran (mixed economics).
Kubu market economics atau yang sering disebut neo-liberalisme diusung oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam gerbong ini ada sejumlah ekonom seperti Sri Mulyani, Chatib Basri yang terkenal sangat setia menjalankan Washington Consensus. Sedangkan kubu peoples’ economic diusung Prabowo Subianto dan ekonom Rizal Ramli. Dan kubu yang terakhir yaitu mixed economics, digagas orang-orang dari luar partai politik. Kolomnis Bersihar Lubis ada di kelompok ke tiga ini.
Sebagai alternatif dari dua kutub pertama, Bersihar menawarkan jalan tengah. Menurut Lubis, menolak kapitalisme jelas sulit. “ … karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dalam perekonomian dunia,” kata Lubis. Setali tiga uang dengan pemikiran Moh. Sadli yang menawarkan Ekonomi Pancasila, Lubis menawarkan ekonomi campuran (mixed economics). “Gagasan itulah yang tercetus dalam Kongres I PSI pada 1952. PSI yang dipimpin Sjahrir menerima arus modal asing maupun kapitalisme liberal, tetapi harus dikontrol oleh negara dan parlemen…,” tulis Lubis dipenghujung artikelnya, “Terima Kasih, Sjahrir” (Harian Medan Bisnis, 6/3/09).
Bagi saya, mixed economics yang ditawarkan Bersihar menarik untuk di diskusikan lebih lanjut. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menarik untuk ditemukan jawabannya: pertama, akankah kapitalisme bersedia dikontrol oleh negara dan parlemen? kedua, mampukah negara dan parlemen mengontrol kapitalisme?